Indonesia Presentasikan Budaya di Korea Selatan

Sebanyak 45 peneliti dari berbagai universitas di Indonesia mempresentasikan penelitian budaya bangsa dan kaitannya dengan budaya internasional, di Universitas Hankuk kajian Ilmu Luar Negeri, Seoul, Korea Selatan, sejak 14 hingga 16 Mei.
Salah satu peneliti dan penyaji makalah dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati, mengatakan seminar itu dihadiri 125 pengajar dan dosen dari Singapura, Malaysia, China, Jepang dan Indonesia. Hal itu dikemukakan
melalui keterangan pers yang diterima di Jakarta, Jumat (16/5).

Seminar tersebut bertajuk “Bridging the Unbridgeable : Changing Paradigms in Malay-Indonesia Studies”.

Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan John A Prasetio mengatakan, hubungan Indonesia dan Korea Selatan sudah sangat erat. Terbukti dengan 85 ribu warga Korea Selatan yang saat ini berada di Indonesia. Kemudian, terdapat 1.600 perusahaan Korea Selatan yang berusaha di Indonesia.

Para peneliti Indonesia membawakan makalah penelitian, di antaranya bertema Seni Batik sebagai Representasi Silang Budaya pada Identitas Masyarakat Asia Tenggara, Indonesia, Singapura dan Malaysia, Menyongsong Seabad Bahasa Indonesia.

Peluang dan Tantangan Menuju Bahasa Indonesia sebagai Salah Satu Bahasa Internasional, Kesantunan Bahasa, Studi Wacana Tulis Peringatan Publik Berbahasa Indonesia, Pembentukan Karakter Siswa melalui Pembelajaran Sastra Berbasis Lesson Study, dan A Javanese Dialect in Indonesia, Language Maintenance of Language Shift? .

Sebanyak 45 peneliti itu berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Hassanudin, Univesitas Negeri Padang, Univesitas Negeri Surabaya, Universitas Jenderal Sudirman, Universitas Pakuan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Institut Teknologi Surabaya, Universitas Negeri Yogyakarta, UPN Veteran, Universitas Islam Malang dan Universitas Magelang.

Seminar ini juga menyelenggarakan pameran foto. Acara akan ditutup dengan Malam Budaya, dengan menampilkan pertunjukan Tari Topeng, Tari Gatotkaca,Tari Jaipongan, Tari Saman, Tari Seudati, serta berbagai tarian dari Malaysia dan Korea Selatan. (Antara)

 

Sumber: http://geotimes.co.id/seni-budaya/seni-budaya-news/fashion/3388-peneliti-presentasikan-budaya-indonesia-di-korea-selatan.html

Pengamat: Jokowi Berbeda dengan Pejabat Lain

JAKARTA — Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dinilai pengamat Komunikasi Publik dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, berbeda dari pejabat lainnya.

Penilaian itu tak lepas dari sosok Jokowi yang disebut Devie tak banyak berkomentar layaknya pengamat. Devie mencontohkan, untuk kasus relokasi warga bantaran waduk Pluit. Paling tidak, Devie melihat jokowi sudah cukup berani mengambil keputusan dengan merelokasi warga dengan berbagai risiko.

“Terkecuali Jokowi, dia tidak jadi pengamat seperti yang lainnya,” kata Devie ketika dihubungi ROL, Senin (20/5)

Justru Devie menyayangkan, sikap pejabat lain yang bisanya hanya melempar polemik publik dengan bersikap sebagai pengamat. Jika ada masalah konstalasi dialog publik, menurutnya adalah hal yang wajar dalam iklim demokrasi di Indonesia. “Kalau tidak ingin ada rakyat protes, mending kita kembali ke masa tirani yang lalu,” tuturnya.

Sebenarnya dalam iklim demokrasi sangat sulit membungkam aspirasi publik yang ada. Publik terbagi atas tiga kelompok, yaitu setuju, tidak setuju dan netral. Ini tergantung derajat kepentingan masing-masing. Yang netral masuk ke dalam golongan yang tidak memiliki kepentingan apa-apa, dan bahkan tidak peduli.

Mereka yang netral, tutur Devie, biasanya tidak memiliki persinggungan langsung dengan pemerintah. Berbeda dengan publik yang setuju atau tidak setuju, mereka punya persinggungan langsung dengan kebijakan tersebut

Sementara Jokowi, dalam berbagai kebijakan sudah berani mengambil keputusan. Jokowi dinilai Devie dapat mengentaskan kebijakan tersebut dengan menjalankannya. Selain itu, dalam pengamatannya, Jokowi juga memberikan alasan dan sudah menyiapkan berbagai keperluan untuk kebijakan tersebut.

Jokowi tidak menjadi seorang pengamat seperti yang dilakukan pejabat publik yang lainnya yang justru sangat menyesatkan ketika menjadi pengamat. “Yang seharusnya penjabat tersebut menjalankan kebijakan itu,” katanya mengakhiri.

 

Sumber: Republika.co.id (Senin, 20 Mei 2013 | 13:18 WIB)

 

Pengajaran Moral ke Pelajar Pelaku Tawuran Sering Tidak Digubris

Sabtu, 12 Oktober 2013 05:54 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, pencegahan tawuran pelajar tak bisa dilakukan hanya dengan imbauan dan penyuluhan. Tindakan tegas terhadap pelaku tawuran dinilai akan lebih efektif memutus rantai tradisi tawuran itu.

Devie berpendapat, tawuran antarpelajar merupakan bentuk kekerasan yang khas. Menurutnya, para pelaku tawuran tidak bertindak atas dasar politik atau ekonomi, tetapi untuk identitas kebanggaan.

“Maka, pendekatan yang sifatnya pengajaran moral seperti ini cenderung tidak digubris,” kata Devie Jumat (11/10/2013).

Menurut Devi, pendekatan yang bersifat penyuluhan dari orangtua, guru, atau pihak lain dianggap para pelajar sebagai orang luar yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan “dendam antarsekolah” yang telah berlangsung turun-temurun. Oleh karena itu, kata Devie, perlu perombakan sistem yang lebih represif untuk menekan kultur kekerasan ke generasi selanjutnya.

“Kebijakan yang diterapkan yaitu pemidanaan serius serta ancaman bahwa catatan kriminal akan berdampak buruk bagi masa depan para siswa,” ujarnya.

Perselisihan antarpelajar di Jakarta kini mulai menjurus ke arah kejahatan. Selain menggunakan senjata tajam, pelaku tawuran kini mulai menggunakan cairan berbahaya untuk melukai sasarannya.

Dua kasus penyiraman air keras terjadi dalam satu pekan terakhir, antara lain di sebuah bus PPD 213 di Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur, pada Jumat pekan lalu dan di Jalan Garuda, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada siang tadi. (Alsadad Rudi)

 

Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/12/pengajaran-moral-ke-pelajar-pelaku-tawuran-sering-tidak-digubris

Sosiolog: Perlu Aturan Hukum Atasi Persoalan Pengemis

Updated: Fri, 29 Nov 2013 10:21:21 GMT | By Tribun News Berita Nasional News Feed

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menyebut persoalan keberadaan pengemis memang merupakan sebuah fenomena sosial yang jamak terjadi di Kota-kota besar.

Mengemis seolah telah menjadi profesi bagi segelintir orang untuk mencari jalan pintas dalam memperoleh uang. “Ini bukan hal baru, bahkan di negara maju ini juga terjadi,” ujar Devie kepada Tribunnews.com, Kamis (28/11/2013).

Devie menyebut, maraknya pengemis di kota-kota besar tidak bisa dilepaskan dari banyaknya pihak pemberi di kalangan masyarakat perkotaan. Hal ini membuat keberadaan pengemis menjadi tumbuh subur.

Fenomena ini disebebkan beberapa hal, salah satunya adalah aktifitas warga perkotaan yang begitu padat dengan waktu kesibukan yang tinggi membuat masyarakat perkotaan khususnya para pekerja merasa kurang memiliki waktu untuk melakukan berbagai ritual-ritual ibadah keagamaan.

“Jadi ini semacam shortcut (jalan pintas), atas kurangnya ritual itu,” tuturnya.

Devie juga mengatakan, salah satu hasil riset yang dilakukan di luar negeri, kebiasaan memberi uang kepada pengemis terkadang bukan didasari rasa iba terhadap si peminta-minta, atau dorongan untuk melakukan ibadah baik. Hasil riset menunjukan, pemberi kerap memberi uang hanya sekedar penyaluran keegoisannya semata.

“Jadi sebagai bentuk pelepasan dahaga si pemberi, seakan dia berbuat sesuatu,” imbuhnya.

Kondisi ini yang kemudian menjadikan keberadaan pengemis semakin menjamur di kota-kota besar.

Mengenai penyelesaian persoalan tersebut, Devie menilai Indonesia bisa menerapkan aturan hukum yang berlaku di beberapa negara dimana pengemis bisa dikenakan pasal pidana, apalagi terbukti kebijakan pengeluaran himbauan haram untuk memberikan uang kepada pengemis seperti yang sempat dilakukan tidak memberikan dampak yang signifikan.

“Kalau bicara soal pendapat halal-haram memberikan uang ke pengemis, ini kan masih bisa diperdebatkan lagi, beda dengan penerapan hukum,” tukasnya.

Penerapan hukum ini misalnya bisa dilakukan dengan menggunkan pasal penipuan terhadap para pengemis yang dalam menjalankan operasinya menggunakan modus palsu seperti berpura-pura cacat atau membutuhkan uang untuk operasi penyait tertentu.

“Mereka jadi bisa dipenjarakan karena itu. Apalagi misalnya mereka mengemis dengan penekanan agresifitas, misalnya menggunakan anjing atau dengan nada dan tatapan mengancam, kalau di luar (negeri) itu diatur,” katanya.

Tak hanya itu, Devie menyebut penerapan aturan pelarangan memberi uang kepada pengemis tersebut harus dilakukan secara konsekuen agar dapat berjalan dengan baik. Karena jika aturan yang ada tidak dijalankan dan tidak diawasi pelaksanaannya tidak akan memberikan hasil yang signifikan.

Sumber: http://berita.plasa.msn.com/nasional/tribunnews/sosiolog-perlu-aturan-hukum-atasi-persoalan-pengemis

Gratifikasi Seks, Pelacur pun Dihadiahkan untuk Pejabat Negara

Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasukkan kategori pemberian hadiah wanita kepada pejabat termasuk bentuk gratifikasi seks layak diapresiasi.

Pengamat Sosial dan Peneliti Kajian Budaya Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, menilai kebijakan KPK tersebut memang bisa dikaitkan dengan potensi korupsi. Devie mencontohkan budaya wanita dapat memuluskan sebuah rencana para pejabat dalam sebuah tender bukan hanya terjadi pada saat ini. Namun bahkan sudah terjadi sejak zaman Romawi kuno.

“Bukan hanya terjadi di Indonesia, pada zaman Romawi kita lihat Cleopatra berupaya sekuat tenaga untuk taklukan Julius Caesar, ini merupakan kemajuan besar sebagai upaya bongkar kasus korupsi, kita patut apresiasi KPK,” kata Devie kepada Okezone, Jumat (11/01/2013).

Devie menilai gratifikasi seks dapat dikategorikan sebagai bentuk korupsi bila mempengaruhi kebijakan dan memuluskan proyek. Bahkan, Devie menyebut, hal itu dilakukan sebagai bentuk rekreasi politik.

“Ini sudah jadi rahasia umum dan banyak dilakukan karena sebagai bentuk rekreasi politik, sebab kita tahu dunia politik memiliki tingkat stres yang begitu tinggi,” ungkapnya.

Namun untuk menelusurinya, lanjut Devie, penyidik KPK harus dibekali lebih dalam dan lihai dalam menginvestigasi gratifikasi seks. Dengan diungkapkan ke masyarakat, kata Devie, hal itu bisa membuat publik untuk ikut mengawasi.

“Kalau itu bisa membuat proyek gol atau meluluskan proyek, itu disebut gratifikasi. Pejabat paling rentan terkena skandal, apalagi kalau itu sampai rugikan keuangan negara. Publik juga bisa turut mengawasi, bukan hanya mengawasi rekening dan rumah yang dibangun tidak wajar misalnya,” imbuhnya.

Alasan lebih mudah terungkap

KPK Sulit Usut Pejabat yang Terima Gratifikasi Seks
Bagi KPK, bakal lebih mudah mengusut pemberian gratifikasi seksual jika pelakunya tertangkap tangan.

“Memang bisa diusut (gratifikasi seks) ini, tetapi sulit dilaporkan bagi penerima. Bagusnya memang tangkap tangan,” ujar Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiyono di Jakarta, Kamis (10/1/2013).

Kalaupun tak tertangkap tangan, kata Giri, pengusutan gratifikasi dalam bentuk layanan seksual bisa lebih mudah jika pemberi layanan bersedia kooperatif dan mengaku ke KPK.

Giri mencontohkan, Corruption Practices Investigation Bureau alias lembaga antikorupsi Singapura bisa mengusut kepala badan narkotika dan menteri pertahanan negara tersebut yang menerima gratifikasi seksual berdasarkan pengakuan perempuan pemberi layanannya. “Seperti di Singapura, perempuannya kooperatif,” ujar Giri.

Sumber: http://www.kaskus.co.id/thread/50f3d98ae874b4be26000013/gratifikasi-seks-pelacur-pun-dihadiahkan-untuk-pejabat-negara

Tawuran antar pelajar

Diposkan oleh I Made Juarsa on Kamis, 28 November 2013

 

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, pencegahan tawuran pelajar tak bisa dilakukan hanya dengan imbauan dan penyuluhan. Tindakan tegas terhadap pelaku tawuran dinilai akan lebih efektif memutus rantai tradisi tawuran itu.

Devie berpendapat, tawuran antarpelajar merupakan bentuk kekerasan yang khas. Menurutnya, para pelaku tawuran tidak bertindak atas dasar politik atau ekonomi, tetapi untuk identitas kebanggaan. “Maka, pendekatan yang sifatnya pengajaran moral seperti ini cenderung tidak digubris,” kata Devie kepada Kompas.com, Jumat (11/10/2013).

 

Menurut Devi, pendekatan yang bersifat penyuluhan dari orangtua, guru, atau pihak lain dianggap para pelajar sebagai orang luar yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan “dendam antarsekolah” yang telah berlangsung turun-temurun. Oleh karena itu, kata Devie, perlu perombakan sistem yang lebih represif untuk menekan kultur kekerasan ke generasi selanjutnya.

 

“Kebijakan yang diterapkan yaitu pemidanaan serius serta ancaman bahwa catatan kriminal akan berdampak buruk bagi masa depan para siswa,” ujarnya.

 

Perselisihan antarpelajar di Jakarta kini mulai menjurus ke arah kejahatan. Selain menggunakan senjata tajam, pelaku tawuran kini mulai menggunakan cairan berbahaya untuk melukai sasarannya. Dua kasus penyiraman air keras terjadi dalam satu pekan terakhir, antara lain di sebuah bus PPD 213 di Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur, pada Jumat pekan lalu dan di Jalan Garuda, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada siang tadi.

Sosiolog: Seleb Beri Anak di Bawah Umur Mobil, Tidak Mendidik

Minggu, 15 September 2013 10:41

Kapanlagi.com – Seperti sudah biasa bila anak-anak kalangan orang berada menghadiahi kendaraan. Sikap ini juga terjadi di sebagian selebriti. Padahal hal tersebut kurang tepat mengingat usia mereka yang belum memenuhi persyaratan mengantongi surat izin mengemudi kendati tak ada hukum yang melarang itu. Begitu diungkapkan sosiolog Devi Rahmawati, saat dihubungi KapanLagi.com® beberapa waktu lalu.

“Tentu saja tidak ada hukum yang melarang orang tua memberikan hadiah kepada anaknya termasuk mobil, kecuali barang yang dijadikan hadiah tersebut termasuk barang yang dilarang oleh hukum, seperti senjata api ilegal atau narkoba. Namun demikian, kita juga tak bisa mengatakan bahwa memberikan hadiah yang berlebihan kepada seorang anak adalah hal yang patut,” katanya.

Karena itu walau orangtua memberikan hadiah mobil bukan merupakan keputusan yang tepat dan tak pada tempatnya. Sebab hal tersebut bukan sikap yang mendidik kendati si anak sudah dapat mengemudi.

“Dalam hal ini, orang tua yang memberikan hadiah mobil kepada seorang anak yang belum waktunya mengemudikan mobil, sekalipun sudah bisa mengemudikannya, tentu saja dapat kita nilai telah mengambil keputusan yang tidak pada tempatnya, berlebihan, bahkan tidak mendidik,” pungkasnya.

Sumber: http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/sosiolog–seleb-beri-anak-di-bawah-umur-mobil-tidak-mendidik-42134e.html

Pemprov DKI Tiadakan Operasi Yustisi

Sabtu 09 November 2013

JAKARTA –Operasi yustisi kependudukan (OYK) yang biasa digelar usai Lebaran di DKI Jakarta, tahun ini ditiadakan. Salah satu alasan peniadaan OYK karena kebijakan ini tidak efektif menekan jumlah pendatang.

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta Purba Hutapea mengungkapkan, OYK nantinya diganti dengan pembinaan kepada penduduk, terutama terhadap warga yang baru tiba serta tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) DKI Jakarta. Dalam pembinaan itu, Disdukcapil DKI Jakarta tetap menurunkan aparat ke rumah penduduk, tapi tidak melibatkan jaksa, hakim, dan kepolisian. ”Kita lebih banyak memberikan pemahaman anjuran untuk menggunakan KTP Jakarta nantinya,” kata Purba Hutapea di Balai Kota kemarin.

Menurutnya, alasan tidak menerapkan OYK karena sanksi yang dikenakan hakim kepada pelanggar tidak terlalu tinggi, berkisar Rp20.000–50.000. Bagi warga, uang sebesar itu tidak terlalu tinggi. ”Para pelanggar administrasi kependudukan menilai mengeluarkan uang untuk denda tidak terlalu tinggi daripada harus mengorbankan waktu mengurus KTP,” tuturnya.

Pemprov DKI Jakarta tidak bisa mendesak hakim untuk memberikan sanksi lebih tinggi karena telah diatur dalam undang-undang kependudukan. ”Daripada pusing mengurusi warga seperti itu, lebih baik penduduk baru ini diberikan pembinaan untuk segera mengurus KTP. Apalagi pengurusan KTP di Jakarta ini tidak lagi harus dipungut biaya,” ujarnya.

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menuturkan, OYK yang digunakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk yang selama ini diterapkan terbukti tidak memberikan dampak positif. Dia berjanji berusaha mencarikan trik terbaru yang lebih ampuh. Antisipasi itu harus melibatkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mengembangkan daerah yang banyak menyuplai penduduk baru ke Ibu Kota.

Dengan pengembangan itu, penduduk daerah tidak lagi bermigrasi ke Jakarta. ”Untuk apa menggunakan cara lama (OYK), tapi riilnya tidak ada berdampak? Penduduk Jakarta tidak ber- KTP Jakarta tetap bertambah,” tandasnya. Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menjelaskan, kebijakan Jokowi dengan meniadakan OYK ini untuk membuktikan bahwa tidak semua orang bisa hidup di Ibu Kota.

Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan dan kesiapan mental ke Jakarta, dengan sendirinya kembali ke kampung halaman. ”Sebagaimana dalam anekdot lama, Ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri,” katanya. ● ilham safutra

Sumber: http://m.koran-sindo.com/node/317722

Ormas Memang Harus Diatur Pemerintah

BERITA – Jumat, 12 Jul 2013 12:37 WIB

Organisasi kemasyarakatan (ormas) maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia memang harus diatur oleh penyelenggara negara. Tujuannya adalah membuat keteraturan dan ketertiban di masyarakat sebab tak sedikit ormas atau LSM yang bertindak sewenang-wenang dalam kehidupan bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara.

Menurut pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, pengaturan tersebut bukan untuk mengebiri atau melenyapkan ormas lama yang nyata-nyata telah memberikan kontribusi positif pada bangsa dan negara Indonesia, tapi lebih ditujukan bagi ormas atau LSM yang selama ini kegiatannya kontraproduktif. “Makanya, keberadaan Undang-Undang (UU) Ormas yang baru disahkan DPR perlu didukung,”

Devie mengungkapkan jumlah ormas maupun LSM saat ini mencapai ratusan ribu sehingga perlu adanya payung hukum. Munculnya ormas maupun LSM ini tak lepas dari perubahan rezim pemerintahan dari Orde Baru ke era reformasi pada 1998 lalu. “Masyarakat secara umum sebenarnya akan senang apabila ormas maupun LSM itu tidak kontraproduktif. Tapi ini tidak, keberadaan mereka justru membuat keresahan. Karena itulah diperlukan undang-undang yang khusus mengatur tentang itu,” kata Devie.

Menyikapi adanya sejumlah elemen masyarakat yang akan melakukan uji materi (judicial review) terhadap UU No 8 Tahun 2013, Devie mengatakan bahwa itu merupakan hak setiap warga negara. “Ini adalah tugas pemerintah untuk menjelaskan ke publik karena yang menjadi persoalan adalah komunikasi pemerintah, dan ini perlu waktu untuk menjelaskan ke masyarakat,” kata Devie.

Seperti diketahui, UU Ormas disahkan dalam sidang paripurna DPR, Selasa (2/7). Namun, keberadaan UU No 8 Tahun 2013 ini juga mendapat tentangan dari beberapa elemen masyarakat dan akan membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materi.

Ketua DPP PDI-P, Maruarar Sirait, mengatakan rencana uji materi UU Ormas merupakan hak setiap warga negara karena memang itu dijamin dalam UU. “Bahkan DPR telah membuka peluang untuk melakukan dialog. Kalau memang ada yang akan membawa ke MK, itu adalah langkah bagus. Ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua,” kata dia.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, mengatakan bahwa keberadaan ormas harus diatur oleh negara. Sebab, saat ini, ormas yang terdaftar di Indonesia ada lebih dari 103.000. Ormas itu terdaftar di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dan Kementerian Sosial (Kemensos).

Jumlah itu belum termasuk yang terdaftar di provinsi maupun di kabupaten/kota. Kalau dijumlahkan, sekitar 200.000. “Masak 200.000 ormas tidak ada UU yang mengaturnya,” kata Gamawan.

Karena itu, kata Gamawan, UU ini diperlukan untuk mengatur hak-hak warga negara yang mengeluarkan pendapat dan pikiran secara lisan dan tulisan, juga untuk mengatur demokrasi tetap berjalan. “Tapi saya lihat, banyak pihak yang tidak memahami secara utuh UU ini karena disebabkan pengalaman masa lalu,” kata Mendagri. (Sumber: Berita Kemendagri)

Sumber: http://kesbangpol.bantulkab.go.id/berita/baca/2013/07/12/123752/ormas-memang-harus-diatur-pemerintah

 

Ahok Tak Bisa Jaga Mulut

Sabtu, 3 Agustus 2013 | 03:18 WIB

DEPOK (Surabaya Pagi) – Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja purnama (Ahok) didorong untuk memperbaiki komunikasi dan sikapnya pascaperang di media massa dengan Ketua DPRD DKI Jakarta Haji Abraham Lunggana (Lulung), terkait penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) Tanah Abang.

Hal itu diungkapkan Pengamat Sosial dan Budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati.

Dosen Vokasi UI serta penulis buku ’69 Panduan Humanis Menghadapi Wartawan’ ini menilai sebagai pejabat DPRD DKI Jakarta, Lulung harus mampu menjelaskan alasan yang relevan mengapa dirinya begitu merasa tersindir dan marah kepada Ahok. Semestinya, kata Devie, sebagai pejabat harus mampu memberikan ruang yang bijaksana.

“Pak Lulung harus jelaskan kepada publik sebabnya apa dia keberatan dan kenapa marah sekali. Ada kepentingan apa, dia berada di pihak siapa,” tukasnya, Jumat (2/8).

Meski mengapresiasi sikap tegas dan berani yang dimiliki Ahok dalam menertibkan PKL Tanah Abang, Devie tetap menilai bahwa Ahok harus mengevaluasi dan memperbaiki komunikasi dan gaya bicaranya. Siapapun pemimpinnya, kata dia, tetap harus memberikan keteladanan yang baik.

“Kita butuh pemimpin yang kuat dan tegas, tetapi kita juga butuh pemimpin yang bisa memberi tekadan, selain tegas, tentu santun juga diperlukan,” tuturnya.

Devie menilai Jakarta sebagai ibukota negara harus memiliki pemimpin yang elegan dan berpegang teguh dengan etika berkomunikasi dengan para pimpinan di dunia. “Sekali lagi tetapi ketegasan Ahok harus ditiru siapapun pemimpinnya, seperti pemimpin DKI saat ini,” jelasnya. Or

Sumber: http://surabayapagi.com/index.php?read=Ahok-Tak-Bisa-Jaga-Mulut;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296211f90239393148bf35956a542c81026d